Komisi II Nilai Sistem Pelayanan Publik Kota Bogor Cukup Baik
Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspik) Komisi II DPR RI Endro Suswantoro Yahman di Balai Kota Bogor, Paseban Sri Bima, Jawa Barat, Senin (5/12/2022). Foto: Nadia/Man
Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspik) Komisi II DPR RI Endro Suswantoro Yahman menilai, sistem pelayanan publik Pemerintah Kota Bogor sudah cukup baik dan bagus. Hal itu ditunjukkan dengan aanya dukungan digitalisasi yang memadai. Namun, menurutnya, perlu juga meningkatkan tingkat kesadaran masyarakat agar dapat memanfaatkan pelayanan publik yang sudah memadai tersebut.
Diketahui, Kunspik Komisi II DPR RI ke Kantor Walikota Bogor ini dalam rangka untuk melihat dan mendengar secara langsung, kendala-kendala yang dihadapi dalam menerapkan sistem pelayanan publik di Kota Bogor.
"Kalau pelayanan publik di Kota Bogor ini memang sejak dahulu baik, sudah baik, sistemnya juga sudah terkoordinasi dengan baik, IT-nya jg sudah berjalan dengan baik. (Hal yang perlu) peningkatan-peningkatan itu paling bagaimana itu mendorong masyarakat untuk lebih aktif memanfaatkan dari sistem yang sudah mapan ini," katanya di Balai Kota Bogor, Paseban Sri Bima, Jawa Barat, Senin (5/12/2022).
Endro melanjutkan, digitalisasi Kota Bogor juga sudah tersertifikasi dengan sistem yang cukup baik. Ke depannya, ia berharap Pemerintah Kota Bogor juga dapat mengajak masyarakat agar dapat memanfaatkan sistem yang ada tersebut.
Selain mengevaluasi pelaksanaan sistem pelayanan publik, Kunspik ini juga dalam rangka meninjau implementasi dari UU Cipta Kerja dalam sistem pelayanan publik. Dari paparan yang disampaikan, kendala yang paling dasar adalah banyaknya proyek perizinan usaha yang membutuhkan penyesuaian dengan aturan turunan UU Cipta Kerja.
"Kalau pelayanan publik di Kota Bogor sudah baik, sudah bagus, di mana kementerian/lembaga banyak yang terlibat dalam mal pelayanan publik. Tetapi, ada salah satu hal yang mendasar, kaitannya bahwa banyak sekali proyek perizinan yang harus penyesuaian dengan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law," tandasnya.
Menurutnya, perubahan-perubahan turunan dari Omnibus law ini butuh penyesuaian ke dalam petunjuk pelaksanaan teknis dan peraturan daerahnya. Karena itu, penyesuaiannya ke dalam juklak dan juknis ini menjadi hambatan yang mendasar dikarenakan perlu adaptasi dengan perubahan-perubahan mendasar tersebut.
"Ya begini, UU Cipta Kerja kan semangatnya kan memberi kesempatan seluas-luasnya masyarakat untuk berusaha. Karena Pemerintah belum mampu memberi pekerjaan, dan semangatnya membuka ruang usaha seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berusaha. Persoalannya selama ini sebelum ada UU Cipta Kerja kan sudah terbangun sistem pelayanan berbasiskan baik digital juga ada, tapi berbasiskan UU yang lama baik sebelum UU Cipta Kerja ada Permendagri, ada Menpan RB," jelasnya.
Endro menambahkan, dengan adanya UU Cipta Kerja ini mengharuskan ada penyesuaian turunannya, baik dari KemenPAN-RB maupun Kemendagri yang berupa surat edaran. Sehingga, penyesuaian ini sudah pasti berdampak kepada perubahan-perubahan teknis mendasar, di dalam sistem pemerintah daerah setempat.
"Iya, ini kan UU-nya juga sudah harus kita sepakati untuk kita jalankan. Ini tinggal bagaimana proses kita adaptasi saja. Kita tidak mengubah, tapi kita mengikuti dengan proses adaptasi yang berbeda," tuturnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI Dian Istiqomah menanggapi implementasi UU Omnibus Law yang berdampak pada pengurangan pendapatan daerah. Sehingga, secara tidak langsung memangkas retribusi daerah. Menurutnya, hal ini perlu dikaji ulang dan dibicarakan dengan seluruh stakeholder terkait.
"Menurut saya (pengurangan pendapatan daerah) ini perlu dikaji ulang lagi. Kita bicarakan duduk bersama dengan pimpinan-pimpinan daerah. Jadi, ada kesepakatan berapa persen bagian untuk kementerian dan berapa persen untuk daerah. Di sini retribusi itu langsung ke negara. Tidak ada retribusi sisa untuk daerah sehingga daerah kehilangan pendapatan. Ini akan sangat memeengaruhi sekali ketika ada pengeluaran-pengeluaran yang menggunakan APBD," tandasnya.
Sementara, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A. Rachim berharap Komisi II DPR RI dapat mengkomunikasikan seluruh kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Bogor kepada Pemerintah Pusat, utamanya kendala implementasi UU Cipta Kerja yang terkait dengan perizinan usaha.
"Karena ada, misalnya, perizinan-perizinan yang (awalnya diurus) saat era Pelayanan Satu Pintu melalui DPMPTSP. (Tetapi), sekarang justru dengan adanya UU Cipta Kerja dan turunannya ini dikembalikan lagi ke instansi atau dinas yang terkait. Jadi, yang tadinya kita coba di konsolidasikan menjadi satu pintu sekarang dikembalikan lagi ke dinas masing-masing," katanya.
Hal lain yang perlu dukungan dari Komisi II DPR RI adalah yang berkaitan dengan ketersediaan blangko e-KTP. Menurut penjelasan Wakil Wali Kota Bogor tersebut, kebutuhan blanko e-KTP di Kota Bogor per tahun mencapai 120 ribu blangko. “Namun sepertinya Pemerintah Pusat belum bisa memenuhi itu. Hal ini juga akhirnya menjadi kendala bagi Pemkot Bogor dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (ndy/rdn)